Wednesday, November 2, 2016

“Apa yang Kamu Lakukan Setelah Orgy ” Nihilisme Baudrillard Reversibilitas dan Perlawanan Simulakrais

“Apa yang Kamu Lakukan Setelah Orgy ” Nihilisme Baudrillard Reversibilitas dan Perlawanan Simulakrais


baudri

“Satu-satunya kenikmatan sejati di dunia ini adalah untuk menyaksikan segala sesuatu ‘berbalik’ menjadi bencana, untuk akhirnya keluar dari determinasi dan indeterminasi, dari peluang dan keniscayaan, dan memasuki kenyataan tentang keterkaitan yang memusingkan dimana, suka atau tidak suka, segala sesuatu sampai pada akhirnya tanpa melalui cara-caranya, dimana kejadian-kejadian menghasilkan efek tanpa melalui penyebabnya.”[1]
“Apa yang menarik bagi saya sebenarnya adalah suatu hal semacam strategi fatal … yang membongkar tatanan indah ketak-terbalikkan (irreversibility), yaitu tentang finalitas segala sesuatunya. Saya kira apa yang mengganggu orang adalah ide mengenai reversibilitas saat ia terberi sebagai sesuatu semacam hukum. Saya tidak menganggapnya sebagai suatu hukum. Saya menerimanya sebagai aturan permainan.”[2]
— Jean Baudrillard

DARI sekian banyak konsep yang dicetuskan oleh Jean Baudrillard, satu yang kurang begitu mendapat sorotan adalah konsep reversibilitas (reversibility),[3] yaitu yang saya artikan sebagai suatu potensialitas inheren untuk berputar-balik, menyimpang, berdeviasi dari arah, bentuk, model dan intensi yang digariskan sedari mula. Seperti yang akan saya perjelas pada bagian-bagian berikutnya, reversibilitas ini adalah fitur ontologis dari realitas dalam pemahaman Baudrillard. Jika hiper-realitas Baudrillardian cenderung menekankan suatu konsepsi realitas yang terdiri dari silang sengkarut banalitas simulakra, maka, demi kepentingan pembeda, saya akan menyebut Baudrealitas sebagai hiperealitas yang menekankan potensi reversibilitas dari realitas. Realitas, dengan demikian memiliki dua wajah: hiper-realitas dan Baudrealitas.
Artikel ini mencoba menarik apresiasi terhadap teori dan filosofi Jean Baudrillard keluar dari kubangan nihilisme naïf yang merebak di kalangan penstudi dan pembaca Baudrillard, terutama di Indonesia.[4] Repetisi melelahkan akan konsep-konsep seperti simulakra, simulasi dan hiper-realitas nampaknya telah mendiskreditkan konsep Baudrillard yang lain – yaitu reversibilitas, misalnya – yang menurut penulis memiliki potensi perlawanan terhadap ketiga konsep sebelumnya. Artikel ini mencoba mengangkat konsep reversibilitas, dan bagaimana ia berimplikasi bagi pemahaman kita baik tentang semesta realitas maupun filsafat Baudrillard sendiri. Kesemuanya ini demi menyudahi dan melawan euforia selebrasi pseudo-liberal posmodernisme, atau yang disebut Baudrillard sebagai orgy[5]Ya, posmodernitas adalah sebuah orgy.
Pilihan saya untuk menyoroti konsep reversibilitas ini bukan sekedar pilihan suka atau tidak suka, melainkan ia berdasarkan dari beberapa urgensi dan memiliki beberapa implikasi, baik filosofis maupun praksis (setidaknya yang saya kampanyekan, yaitu perlawanan sistemik terhadap totalitas tatanan kapitalisme-neoliberal hari ini). Pertama,konsep ini merupakan salah satu cara untuk membawa karya-karya Baudrillard dari jurang nihilisme naïf, [6] yang notabene juga kerap dijumpai di pikiran para cerdik pandai Indonesia. Cara ini, harus diakui, bukanlah suatu cara à laBaudrillard untuk melampaui nihilisme. Baudrillard sendiri lebih memilih membawa nihilisme ini sampai pada limitnya, eksesnya, sehingga ia akan menghancurkan dirinya sendiri dari dalam (implosi).[7] Namun demikian, sayangnya (sejauh yang saya amati), Baudrillard tidak menunjukkan caranya (selain seruan untuk terus mengkonsumsi, seperti di Consumer Society). Akibatnya, proposal ini hanya menjadi retorika politik asesorial, jika bukan kepercayaan mesianik yang naïf.
Tidak ada salahnya dengan ini, hanya saja, kita tidak akan pernah tahu, apalagi mampu mengevaluasi, sejauh mana proposal ini berhasil. Interpretasi ini akhirnya hanya akan meninggalkan kita terkatung-katung di samudera hiperealitas, dalam toleransi fatalis terhadap pluralisme realitas, dan berpesta-pora sampai mati dalam posmodernitas sembari menunggu sang ratu adil datang membawakan kebenaran mulianya. Politik, jika ada, akhirnya tak lebih dari sekedar sebuah bingkisan etik/fatsoen yang banal dan obesitas alibi etika dan moral yang tak berdasar. Singkatnya, politik sama dengan NOL besar dalam hiperealitas posmodern berikut filosofi yang mempropagandakannya—posmodernisme.
Kedua, konsep reversibilitas mampu menunjukkan jalan untuk memanjat jurang nihilisme ini, tepat dengan cara yang sama seperti ia menjebak kita semua dalam jurang tersebut. Sumbangsih penting Baudrillard adalah menunjukkan bahwa pada nihilisme, selalu terdapat momen reversibilitas. Segala sesuatunya, pasca nihilisme (yaitu pasca pengosongan esensi; pasca simulasi ke dalam tatanan simulakra) memiliki potensi untuk dibolak-balik arahnya, logikanya, “isi”-nya, orientasinya, dst. Konsekuensi nihilisme—yaitu matinya esensi, orisinalitas, dan otentisitas—tidak lantas berujung pada apatisme dan sinisme apolitis—sebagaimana yang banyak diderita Baudrillardian posmodern (baca: para nihilis pasif). Reversibilitas merupakan potensi politik peninggalan Baudrillard untuk membongkar sistem yang telah dideskripsikannya dengan baik: hiper-realitas.
Tujuan utama tulisan singkat ini, sebagaimana yang mungkin sudah bisa dideteksi, adalah suatu eksperimentasi teoretiko-politis untuk memahami, demi kemudian mendeteksi celah (yi. reversibilitas) dari tatanan simulakra. Untuk sampai kepada tujuan ini, tulisan ini akan pertama-tama membahas perkembangan konsep reversibilitas dalam pemikiran Baudrillard sendiri, lalu mencoba memberikan rumusan yang padu. Berikutnya konsep ini dipakai untuk menggeser cara pandang umum mengenai hiper-realitas (a la posmodern), yang menurut penulis, kontra-produktif bagi seluruh perjuangan politik melawan tatanan simulakra itu sendiri. Sampai sini setidaknya motivasi utama artikel ini jelas: yaitu merebut warisan Baudrillard dari cengkeraman pesimisme nihilisme naïf à la posmodernisme untuk kemudian menggunakannya balik untuk menghantam posmodernitas itu sendiri, berikut nabi-nabi posmodern yang menopangnya, termasuk, jika perlu, para Baudrillardian sendiri. Forget Baudrillard? No! Forget (postmodern) Baudrillards![8]

Menyudahi Transendensi dan Orgy Posmodernisme
Secara kronologi intelektual, Baudrillard pertama kali mengembangkan konsep reversibilitas ini pada tiga bukunyaSymbolic Exchange and Death (1976), Forget Foucault (1977) dan Seduction (1979)Latar belakang pengembangan konsep ini tentu saja adalah pelajaran yang ia petik saat bergulat dengan kontradiksi yang ia temukan dalam pemikiran Marx, dan dalam aplikasi pemikiran Marx tersebut ke realitas sosial saat itu. Pelajaran tersebut tak lain adalah matinya transendensi. Dalam pemikiran Marx, Baudrillard menunjukkan titik buta dari seluruh sistem pemikiran tersebut mengenai kapital, yaitu pada konsep ‘produksi’ yang berfungsi seoah-olah sebagai metafisika transenden. Produksi, sebagai konsep, tidak pernah dipertanyakan Marx; seolah-olah ia adalah konsep absolut-universal yang berlaku di sepanjang sejarah. Padahal, sebagaimana Baudrillard buktikan di zamannya sendiri (tepatnya, kapitalisme pasca-Fordis dan/atau kapitalisme pasca-Industri), konsep tersebut telah berubah.[9]
Sebagaimana ditunjukkan Baudrillard, yang terutama akan semakin jelas pada tahun-tahun berikutnya, produksi dalam kapitalisme kontemporer, adalah selalu produksi akan tanda yang tidak memiliki acuan apapun. Produksi di kapitalisme kontemporer, adalah simulasi tanda-tanda. Sehingga tepatlah judul buku Baudrillard berikutnya: The Political Economy of Sign. Namun demikian, produksi/simulasi tanda ini tidak selalu harus diartikan sesempit produksi iklan, pencitraan dan produk-produk berbasis citra. Bahkan, yang ingin penulis tekankan, produksi/simulasi tanda yang dimaksud Baudrillard harus dipahami lebih dari ini; ia juga berpengaruh pada ekonomi kapitalis yang tradisional juga. Mengapa demikian?” Penjelasan dalam kata-kata Baudrillard sendiri, sbb.:
“Dengan mengangkat produksi ke abstraksi total (yi. produksi demi produksi itu sendiri), ke kekuatan kode,yang bahkan tidak lagi beresiko menjadi dipertanyakan oleh suatu acuan yang ditiadakan, sistem ini berhasil menetralisir tidak hanya konsumsi, melainkan juga produksi itu sendiri sebagai suatu medan kontradiksi. Daya-daya produksi sebagai suatu acuan (substansi ‘obyektif’ dari proses produksi) dan dengan demikian juga sebagai suatu acuan revolusioner (motor dari kontradiksi modus produksi) kehilangan dampak spesifiknya, dan dialektika tidak lagi beroperasi di antara daya-daya produksi dan relasi-relasi produksi, persis karena ‘dialektika’ tidak lagi beroperasi di antara substansi tanda-tanda dan tanda-tanda itu sendiri.”
[Through the elevation of production to a total abstraction (production for its own sake), to the power of a code,which no longer even risks being called into question by an abolished referent, the system succeeds in neutralizing not only consumption, but production itself as a field of contradictions. Productive forces as a referent (‘objective’ substance of the production process) and thus also as a revolutionary referent (motor of the contradictions of the mode of production) lose their specific impact, and the dialectic no longer operates between productive forces and relations of production, just as the ‘dialectic’ no longer operates between the substance of signs and the signs themselves.][10]
Pandangan ini menunjukkan dengan jelas bahwa Baudrillard sudah mengantisipasi dominasi kapitalisme finansial yang akan terjadi justru dua dekade berikutnya. Kapitalisme finansial mencoba mengabstraksikan suatu produk/komoditas ke dalam bit-bit/angka—angka yang nantinya disebut ‘indeks harga’. Indeks harga ini dipertukarkan sedemikian rupa dalam bursa saham. Akhirnya, bursa saham ini menjadi ujung tombak akumulasi kapital bagi perusahaan (bahkan ia menjadi mimpi bagi perusahaan-perusahaan yang belum go public). Lini produksi akhirnya diperketat bukan demi meningkatkan kualitas komoditas per se, melainkan demi meningkatkan performa (ya, performa—yaitu pagelaran rangkaian tanda!) di mata pemegang saham dan calon investor. Sampai di sini perlu ditandaskan bahwa dominasi kapitalisme finansial dan pasca-industri tidak serta-merta menafikan kerja-kerja manufaktur tradisional. Namun kerja-kerja manufaktur tradisional ini harus diletakkan dalam konteks dominasi kapitalisme finansial/pasca-industri ini. Karena, sebagaimana ditekankan Baudrillard, “[p]roduksi riil dimana-mana tertundukkan kepadanya.”
“Secara ekonomis, proses ini memuncak pada otonomi internasional semu kapital finansial, pada permainan kapital mengambang yang tak terkendalikan. Saat mata uang dicerabut dari pertana-pertanda produksi, dan bahkan dari acuan standar dolar, ekwivalensi universal* (general equivalence) menjadi tempat strategi dari manipulasi. Produksi riil dimana-mana tertundukkan kepadanya. Puncak kejayaan sistemik ini berkaitan erat dengan kemenangan kode.”
[Economically, this process culminates in the virtual international autonomy of finance capital, in the uncontrollable play of floating capital. Once currencies are extracted from all productive cautions, and even from reference to the gold standard, general equivalence becomes the strategic place of the manipulation. Real production is everywhere subordinated to it. This apogee of the system corresponds to the triumph of the code.][11]
Pembahasan ini bisa berlanjut bahkan sampai menjelaskan kolapsnya perekonomian dunia (1995 di Mexico, 1998 di Asia, 2002 di Argentina, 2008 Subprime Mortgage di AS, 2010 Eurozone, 2011 Yunani), yang lagi-lagi sudah diramalkan oleh Baudrillard sendiri. Namun bukan ini yang menjadi tujuan utama tulisan ini. Yang ingin ditunjukkan melalui fenomena finansialisasi dan krisis kapitalisme ini adalah bahwa matinya transendensi ekonomi, yaitu produksi, berimplikasi pada ke-“serba mungkin”-an produksi itu sendiri, bahkan kemungkinan akan bunuh dirinya(suicide) sistem produksi itu sendiri (baca: krisis kapitalisme). Kondisi serba mungkin yang tidak menentu inilah yang disebutnya sebagai kondisi reversibilitas.


baudri2

Sekiranya jelas bahwa kondisi reversibilitas ini menjadi nampak saat transendensi berakhir, atau lebih tepatnya,diakhiri. Selama landasan dan fundamen segala sesuatu (ekonomi: produksi; agama: tuhan; politik: kebaikan; kuasa: kekerasan, hukum: keadilan dst.) masih diasumsikan ada, yang padahal tidak pernah ada, maka segala sesuatu akan tampak irreversible. Inilah arti penting reversibilitas Baudrillardian; ia mampu menunjukkan celah dari kebuntuan katastrofik hiper-realitas lautan simulakra. Memahami realitas secara Baudrealitas dengan demikian pertama-tama akan menghalau seluruh konsepsi orisinalitas, keaslian, otentisitas, ke-nyata-an, kebenaran, dst., atau dengan kata lain “membunuh” realitas itu sendiri, mengosongkannya dari esensinya. Berikutnya, mengangkat dan menampakkan dimensi reversibilitas dari realitas tersebut, sedemikian rupa sehingga realitas tadi tampak tidak lebih sebagai ilusi. Namun sekali lagi, mencoba menyelamatkan ilusi dari kepasifan fatalis para posmodern, ilusi di sini tidak seharusnya dilihat sebagai titik akhir; melainkan ia adalah titik awal dari mana politik dimulai, dari mana sejarah perlawanan mulai dicatat. Mengapa demikian? Karena “[s]ejarah tidak akan berakhir—karena sisa-sisanya, seluruh residunya – Gereja, komunisme, kelompok etnis, konflik, dan idiologi— dapat didaur-ulang terus-menerus secara tak terbatas.” [[h]istory will not come to an end – since the leftovers, all the leftovers – the Church, communism, ethnic groups, conflicts, ideologies – are indefinitely recyclable].[12]
Penekanan tentang poin ini dirasa penting semenjak kecenderungan penerimaan terhadap pemikiran Baudrillard ini (dan pemikiran yang disebut “posmodern” secara umum) selalu berujung pada sikap apolitis/apatis[13] yang berujung pada aspirasi liberal akan perayaan banalitas, pluralitas dan multi-kulturalisme.[14] Pula sikap ini akan menarik orang pada ruang-ruang privat kehidupan, pada spiritualitas (baik baru maupun lama), pada etika-diri dan moralitas, pada romantisisme masa lalu, dst., yang justru hanya mengulang apa yang ingin dilawan Baudrillard (dan posmodernisme itu sendiri). Lainnya, orang akan berkubang pada pragmatisme (dalam arti sempit) kehidupan dengan merayakan hedonisme dan workaholism, seraya menghindari kompleksitas kehidupan dengan kembali menarik diri ke ruang-ruang privat yang juga telah disediakan sebelumnya (agama, kesenian murni, yoga, bisnis, sekte-motivasi, video game, dst.). Singkatnya, afirmasi pasif dari nihilisme hanya akan berujung pada fundamentalisme: kesenangan, keyakinan, identitas, dan pasar. Posmodernisme dan fundamentalisme adalah satu koin yang sama dengan dua wajah berbeda.
Momen posmodern—dalam artian runtuhnya tiang-tiang metafisik penyanggah segala sesuatu, diartikan Baudrillard sebagai suatu kematian (death). Namun demikian, perayaan Baudrillard akan kematian ini tidak seperti euforia fundamentalis yang barusan dipaparkan. Malahan Baudrillard menyebut euforia ini sebagai orgy—suatu metafora yang digunakannya untuk menunjukkan kondisi “apa saja boleh.” Orgy adalah konsekuensi dari matinya transendensi yang bermuara pada apatisme dan apolitisme. Baudrillard kemudian bertanya,
“Jika saya harus mengarakterisasikan kondisi yang baru ini, saya akan menyebutnya ‘setelah orgy’Orgy bisa dilihat sebagai suatu keseluruhan pergerakan modernitas, dengan ragam rupa liberasinya – liberasi politik, liberasi seksual, [dst.] Jika anda mengehndaki pendapat saya, hari ini segala sesuatunya terliberasi. Permainan sudah berakhir, dan kita bersama-sama dihadapkan pada pertanyaan penting: ‘apa yang kamu lakukan setelahorgy?’”
[If I had to characterize this new state of affairs, I would call it ‘after the orgy’. The orgy is in a way the whole explosive movement of modernity, with its various kinds of liberation – political liberation, sexual liberation, [etc.] If you want my opinion, today everything is liberated. The game is over, and we collectively confront the crucial question: ‘What are you doing after the orgy?’][15]
Jelas, jika pertanyaan apa yang kamu lakukan setelah orgy?” diajukan ke Baudrillard, maka ia akan menjawab: reversibilitas.
“Mulai saat ini kita akan hidup dalam sebuah dunia tanpa yang orisinil, seperti yang pernah terjadi pada obyek dan citra sebelum kesenian ada. Dan dalam ketiadaan orisinalitas kita dapat menemukan kembali beberapa dari bentuk-bentuk ritual ini, namun yang pasti itu semua tidak akan sama dengan yang pernah ada sebelum zaman estetika. Bentuk dan citra kita adalah melampaui estetika, sama seperti media kita yang melampaui benar dan salah, dan nilai-nilai kita yang melampaui baik dan jahat. Namun selalu ada satu titik melampaui penghujung yang memudar ini. Selalu ada suatu masa setelah orgy. Suatu rahasia reversibilitas mengeram dalam segala sesuatu, bahkan saat ia tampak tak terbalikkan. Reversibilitas itu indah.”
[From now on we will live in a world without originals, as it was for objects and images before art existed. And in the absence of originality we may recover some of these ritual forms, but certainly they will not be the same as those existing before the age of aesthetics. Our forms and images are beyond aesthetics, just as our media are beyond the true and the false, and our values are beyond good and evil. But there is always a point beyond the vanishing point. There is always a time after the orgy. A secret reversibility lies in all things, even when they seem to be irreversible. Reversibility is beautiful.][16]

Reversibilitas, Seduksi, Miskonstruksi
Mereka yang sudah memahami kondisi kontemporer sebagai suatu “kematian,” dan ingin beranjak pada kondisi ini akan segera dihadapkan Baudrillard pada konsep reversibilitas. Memahami reversibilitas, mirip seperti dekonstruksi Derridean, harus melihatnya sebagai “telah selalu bekerja” (always already at work). Jadi, reversibilitas bukanlah suatu usaha dari luar untuk mengutak-atik suatu konsep/obyek lalu memutar-balikkannya. Reversibilitas telah selalu ada pada segala sesuatu, bahkan saat sesuatu tersebut tampak kokoh, mantap dan padu. Sekali lagi, untuk menyadari dimensi reversibilitas ini, syarat utama yang harus dipenuhi adalah dengan membuang jauh-jaug pandangan bahwa konsep/obyek yang akan direversi tersebut memiliki esensi dan substansi yang fix, asali, yang “dari sananya.” Saat konsep/obyek tersebut telah dikosongkan, maka yang tersisa adalah suatu ‘kontingensi absolut’, suatu potensi reversibilitas yang tak terbatas. Jadi, seluruh kulit dan kerangka (forma) dari konsep/obyek tersebut, minus substansi/esensi/maknanya, tersisa bagi kita untuk dimainkan sesuka hati, diisi dengan esensi/substansi apapun, diarahkan kemanapun.
Menarik untuk sejenak membahas kritik Baudrillard terhadap Foucault, baik esensi kritiknya maupun forma kritiknya. Secara esensi, kritik Baudrillard berusaha menunjukkan bahwa pandangan Foucault mengenai kekuasaan yang tersebar, mikro dan relasional sebenarnya hanya dimungkinkan saat ia (tanpa disadari), dan kita semua, menerima kenyataan bahwa kekuasaan telah mati. Kekuasaan tradisional, yang berbasikan sumber-sumber baik ilahi maupun modern (hukum, rakyat, ide perdamaian universal), telah berakhir.[17]
“[Bagaimana] jika Foucault berbicara dengan sangat baik mengenai kuasa—dan jangan sampai kita melupakannya, yaitu yang dalam artiannya yang obyektif riil mencakup bermacam-macam pembelokkan namun tidak mempertanyakan sudut pandang seseorang tentangnya, dan mengenai kuasa yang tercacah-cacah namun yang prinsip realitasnya tidak dipertanyakan—hanya karena kuasa itu sendiri telah mati?”
[[What] if Foucault spoke so well of power to us—and let us not forget it, in real objective terms which cover manifold diffractions but nonetheless do not question the objective point of view one has about them, and of power which is pulverized but whose reality principle is nonetheless not questioned—only because power is dead?][18]
Dari segi forma, maka kerja kritik Baudrillard tersebut juga menunjukkan reversibilitas at work. Baudrillard mengosongkan intensi Foucault, yaitu untuk memahami mekanisme kuasa (atau yang disebutnya sendiri, “the ‘how’ of power”[19]) dari keseluruhan proyek intelektual Foucault (terutama, yang dibahas buku itu, Discipline and Punishdan History of Sexualtiy, vol 1), untuk kemudian menggantikannya dengan intensinya sendiri, yaitu menunjukkan bahwa “kuasa telah mati.” Ia menggunakan seluruh bangunan teor

Available link for download